Jumat, 23 Oktober 2015

Fenomena Mahasiswa Bunuh Diri, Ini Kata Para Ahli

Status mahasiswa –apalagi berprestasi- dan dianggap kaum intelek, ternyata tak membuat sebagian diantaranya berfikir jauh. Terbukti, 5 kasus bunuh diri belakangan ini, dilakukan mahasiswa. Terbaru dan menghebohkan, adalah kematian Elpiana Theresia br Ambarita, mahasiswi berprestasi Fakultas Hukum USU.

Dia ditemukan gantung diri di kamar kosnya, Minggu (17/5) malam. Sebelumnya, Frendis, mahasiswa Fakultas Teknik USU ditemukan adiknya tergantung kaku di kamar kos mereka di Jl. Jamin Ginting, Pasar I Padang Bulan, pada 19 Oktober 2014.

Lalu mahasiswa Fakultas Pertanian USU, Mario Sianipar (21), nekat menjerat lehernya sendiri di kamarnya di Jl. Damar Kelurahan Sei Putih I Medan. Ada juga Dedi Nur Setianto yang ditemukan pada 4 Februari 2015. Ia merupakan mahasiswa Semester IV Jurusan Teknik Mesin Sekolah Tinggi Teknik Harapan Medan. Sedangkan Afandi Gultom yang ditemukan pada 23 Maret 2015, adalah mahasiswa Unimed jurusan PPKN.

Maraknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa, menurut Redyanto Sidi SH.MH, selaku kriminolog, karena ketertutupan pada orang-orang di sekitarnya. “Kita kategorikan korban ini sebagai kaum intelektual, karena sudah memiliki pemikiran yang luas. Dan intinya kenekatan korban ini karena tidak terbuka kepada keluarga, teman. Dan jika seseorang tertutup, maka akan lebih mudah menghadapi jalan buntu atau deadlock. Ujungnya timbul keputusasaan,” jelasnya.

Lanjut Dosen dari Fakultas Hukum UMSU, akibat keputus asaan tersebut, mengakibat korban melakukan perbuatan yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain. “Jika seseorang sudah putus asa, maka pikirannya tidak stabil dan cenderung berbuat nekat, menyakiti dirinya sendiri, bahkan sampai nekat mengakhiri hidup,” ujarnya.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Humaniora ini mengajak peran keluarga, dan khususnya untuk pihak kampus sendiri memberikan perhatian kepada mahasiswanya. Dan walaupun tidak secara penuh setidaknya memberikan masukan dan bimbingan kepada mahasiswa. “Keluarga sangat berperan, begitu juga dengan pihak kampus sendiri, memberikan sedikit masukan atau pembinaan atau formula-formula lain untuk lebih dekat ke mahasiswa melalui dosen penasehat akademik,” terangnya.

Dan memberikan arahan kepada mahasiswa agar dapat membagi waktu antara waktu belajar, waktu untuk keluarga dan waktu untuk pasangan. “Kalau pun ada pasangan atau kekasih, diharapkan jangan berlebihan dan harus lebih diutamakan pelajaran. Dan memantau mahasiswa, minimal sedikit waktu untuk memberikan pemahaman-pemahaman seperti itu,” jelasnya.

Senada disampaikan psikolog yang juga merupakan dosen Universitas Medan Area (UMA), Hj. Risydah Fadilah, S.Psi, M.Psi. Psikolog yang akrab di panggil dengan sebutan Dila itu mengatakan sangat memungkinkan korban bunuh diri belajar dari korban sebelumnya. Korban merasa betapa nikmat dan mudahnya bunuh diri yang dapat melenyapkan semua beban hidup ini.
Bunuh diri juga terjadi bukan karena satu masalah saja. Biasanya bunuh diri terjadi akibat dari tekanan permasalahan yang telah terakumulasi. Tepat dipuncak emosi, masalah yang sebelumnya belum usai malah ditambah lagi dengan masalah baru. Disaat itulah niat bunuh diri akan muncul.

“Bisa saja dia belajar dari korban sebelumnya. Dia merasa kok sepertinya enak ya bunuh diri. Bisa hilangkan semua masalah dalam sekejap saja. Jadi korban mencontoh skorban sebelumnya. Bisa juga mereka belajar dari media. Jadi memang media ini ada sisi negatif dan sisi positifnya. Saran saya agar media tidak terlalu vulgar menayangkan hal seperti ini,” ungkapnya.

Dila mengatakan sebenarnya perilaku orang itu beragam. Pembentukannya antara satu dengan yang lainnya tidaklah sama. Inilah yang disebut dengan kepribadian yang dibentuk secara kumulatif dari orang tersebut lahir hingga dewasa.

Melihat kasus bunuh diri dari mahasiswi yang dikenal berprestasi itu, Dila mengatakan memungkinkan saja bunuh diri dilakukan. Sebab kecerdasan dalam hal IQ tidaklah sejalan dengan kecerdasan emosi. Pada umumnya seseorang yang disebut cerdas itu adalah orang-orang yang memakai kaca mata, duduk di depan kelas, dan tidak memiliki kawan. Mereka terkenal suka menyendiri. Sehingga pemebntukan perilakunya dikatakan sebagai orang yang pendiam.

Namun dari segi klinisnya orang-orang seperti itu tidak bisa menyelesaikan masalah secara cermat. Dalam ilmu psikologi orang seperti itu disebut Dependent (bergantung). Biasanya orang Dependent terbentuk akibat tuntutan dari pihak keluarga yang terus menuntut prestasi di bidang akademis. Sehingga aspek sosilisasinya dalam masyarakat kurang ditekankan. Akhirnya mereka tidak memiliki banyak teman.

Akibatnya setiap ada permasalahan mereka tidak bisa menyelesaikannya sendiri. Sehingga mereka butuh adanya sosok figur yang bisa dijadikan tempat mencurahkan masalahnya. Ketika figur tersebut hilang maka dia akan merasa kesepian dan meraa hidupnya hampa.

“Biasanya orang seperti inilah yang nekat bunuh diri. Atau kalau tidak mengalami gangguan jiwa. Kalau ga berhasil bunuh dirinya, maka ia akan berusaha bunuh diri lagi jika masalahnya belum selesai. Berbeda dengn orang yang tergolong independent. Mereka bisa menyelesaikan masalahnya sendiri,”ungkapnya.

Untuk itu diharapkan agara orang-orang disekitar mereka yang memiliki tipe Dependent agar memberikan kepeduliannya lebih lagi. Perlu adanya perhatian serius dari lingkungan terdekatnya. Selain itu dirinya juga menyaranakan agar kembali ke fitrah manusia yaitu dekat dengn Tuhan Yang Maha Esa. Tidak dipungkiri semakin modernnya kehidupan, kita menjadi jauh dari agama. Sehingga bisa membentengi dengan baik diri sendiri dari keinginan yang buruk.

“Kita harus meningkatkan kepedulian dengan sesama. Jadi orang-orang yang mau bunuh diri pasti menunjukkan perilaku aneh. Jadi harus ditanya dan ditemani jika ada seseorang yang menunjukkan tanda seperti itu. Apalagi jika dia memag tipe ormg yang Dependent,”ujarnya sembari mengatakan dukungan keluarga sangatlah penting.(win/bay/trg)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar