Rabu, 04 November 2015



Lakukan Penyebaran Kebencian, Bisa Dipidana LBH: SE Kapolri Perlu Dikaji Ulang

Medan, (Analisa). Surat Edaran (SE) Kapolri nomor SE/06/X2015 mengenai pelarangan penyebaran kebencian (Hate Speech) yang hangat dibicarakan belakangan, dinilai terlalu berlebihan. Pasalnya, selain berindikasi mengangkangi kebebasan berpendapat, para peng­guna media sosial (Medsos) dan khalayak yang melakukan Hate Spe­ech bisa diancam sanksi pidana.

Kabid Humas Poldasu, Kombes Pol Helfi Assegaf dalam pesan siaran persnya yang diterima Analisa, Selasa (3/11) siang menjelasakan  Hate Speech merupakan bentuk provokasi maupun hasutan.

"Ucapan kebencian adalah tinda­kan komunikasi yang dilakukan suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain," urainya.

Salah satu contoh ungkapannya itu, seperti kejadian menjurus Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA) di Aceh Singkil dan Tolikora. "Dalam arti hukum, Hate Speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap pra­sangka entah dari pihak pelaku per­nyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut," terangnya.

Hate Speech, sambung Kabid Humas bisa disebarkan melalui situs website, forum internet dan berita. "Website yang menggunakan atau menerapkan Hate Speech ini disebut Hate Site. Kebanyakan dari situs ini menggunakan forum internet dan berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu," katanya.

Kesan berhati-hati terhadap ma­sya­­rakat yang suka ‘berkicau’di medsos, sepertinya harus dimini­malisir. Pasal­nya, sudah ada undang-undang (UU) yang mengatur menge­nai Hate Speech.

"Pelaku Hate Speech bisa dikena­kan sanksi pidana seperti yang diatur dalam pasal  160 KUHP, bisa juga dengan Undang-Undang (UU) nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, UU No 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis," tukasnya.

Dikaji Ulang

Surat Edaran bernomor SE/06/X/2015 yang dikeluarkan Kapolri terkait penegakan hukum yang menyangkut aktivitas berpendapat di depan umum, termasuk di antaranya di media sosial perlu dikaji ulang. Surat edaran itu per­lu disosialisakan lebih lanjut agar ti­dak banyak masyarakat yang ter­jebak.

Hal ini diungkapkan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Humaniora, Redyanto Sidi MH. Menurutnya jenis-jenis pelanggaran dan hukuman yang berlaku perlu lebih disosialisasikan kepada masyarakat. "Dalam surat edaran tersebut ada ancaman pidana kurungan dan denda. Saya khawatir itu akan menimbulkan polemik. Itu perlu diperjelas dan dipertegas oleh Kapolri, lingkupnya kepada siapa dan ditujukan kepada siapa," ujarnya.

Ia mengatakan menjadikan surat edaran tersebut sebagai dasar pemi­danaan merupakan hal yang keliru sebab penghinaan dan pencemaran nama baik sudah diatur di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurutnya surat edaran tersebut tidak bisa mengang­kangi UU ITE yang sudah ada terma­suk soal lingkup pidana yang juga sudah diatur dalam UU ITE.

 "Kalau surat edaran itu mengacu pada KUHP, kita harus ingat bahwa ranah media sosial itu dunia maya. Hal itu sudah diatur di UU ITE maka berlaku lingkup khusus bukan umum. Ada asas hukum pidana yang menya­takan bahwa Pasal 310 itu telah dikesampingkan dengan adanya UU ITE. Jadi setiap perbua­tan yang mencemarkan harkat, martabat atau nama baik seseorang melalui dunia maya itu yang digu­na­­kan UU ITE bukan KUHPidana. Ja­di sebenarnya itu saja sudah cu­kup," tambahnya.

Redyanto juga tidak menampik kemungkinan adanya muatan politis dalam terbitnya surat edaran tersebut, terkait banyaknya netizen yang meng­hujat pemerintah dan kepala negara. Jika dugaan tersebut benar menu­rutnya hal ini merupakan sesuatu yang memalukan dan memilukan.

"Kalau lingkupnya digunakan untuk kekuasaan tentu itu bisa mem­bungkam demokrasi dan kebebasan berekspresi masyarakat yang saat ini sedang menikmati perkembangan teknologi. Masyarakat akan terke­kang kebe­basannya dalam tanda positif untuk melakukan kritikan-kritikan dengan berbagai cara melalui media sosial. Itu bisa menjadi mo­mok yang menakutkan bagi netizen," ungkap­nya.

Untuk itu ia mengatakan surat edaran tersebut harus dikoreksi lagi dan disesuaikan dengan aturan-aturan yang terkait. Banyak orang yang khawatir karena melalui surat edaran itu Polri bisa melakukan penindakan secara pidana atas siapa saja netizen yang melakukan pelanggaran. (yy/amal)


Pemko Diminta Terangi Setiap Jalan


Kasus Pembegalan

Medan, (Analisa). Kasus pembegalan yang marak ter­jadi di Kota Medan mencemaskan war­ga. Pemko Medan diminta untuk lebih memperhatikan penerangan jalan. Jalan yang minim penerangan sering dija­dikan pelaku sebagai tempat bero­perasi.

Demikian disampaikan, Redyanto Sidi MH, direktur LBH Humaniora kepada Analisa, Senin (2/11). Menurut­nya Kota Medan sebagai salah satu kota metropolitan harusnya memiliki pene­rangan yang baik di seluruh wilayah, tidak hanya di pusat kota demi memi­nimalkan daerah rawan pembegalan.

"Warga Kota Medan yang tinggal di daerah minim penerangan juga memba­yar pajak penerangan jalan tapi kenapa mereka tidak bisa menikmatinya? Ini berkaitan dengan keamanan. Pemeliha­raan keamanan warga perlu ditingkatkan agar masyarakat bisa lebih merasa aman dalam mencari nafkah," ujarnya.

Siskamling


Ia juga berharap Walikota ataupun calon Walikota Medan untuk ke depan­nya menyusun formula agar masyarakat bisa bekerjasama dalam mengamankan wilayah Kota Medan dari aksi-aksi kriminal seperti begal atau jambret. "Jadi tidak hanya bergantung pada aparat yang jumlahnya terbatas jika dibandingkan dengan jumlah warga Kota Medan. Program-program seperti siskamling dan jaga malam perlu dihadirkan kem­bali. Walikota yang baru harus mengu­sulkan hal-hal seperti itu," ujarnya.

Minimnya Penerangan


Hal senada juga disebutkan warga Jalan Setia Budi, Sagita Purnomo, me­nu­rutnya minimnya penerangan jalan di beberapa titik menjadi penyebab maraknya kasus pembegalan. "Banyak ruas jalan yang masih belum memiliki pencahayaan yang cukup dikarenakan lampu jalan yang rusak atau memang tidak ada sama sekali. Jalan yang gelap tentu menjadi lokasi favorit para pelaku begal untuk beraksi," ungkapnya.

Untuk itu menurutnya selain menam­bah penerangan jalan, Pemko Medan harus berkoordinasi dan meningkatkan sinergi dengan aparat kepolisian dan memberdayakan Satpol PP untuk be­kerja sama berjaga dan berpatroli di lokasi-lokasi rawan kejahatan.

"Koordinasi dengan kepala ling­kungan harus intens dilakukan agar aktif memo­nitoring wilayahnya. Hen­daknya Pemko ataupun walikota terpilih nanti dapat membuat program khusus men­jalin sinergi antarwarga, kepala ling­kungan, dan aparat dalam memeli­hara keamanan dan keter­tiban masyarakat," tambahnya.

Korban Begal

Sementara, Ririn Famur Wandes, warga Jalan Mesjid Taufik yang pernah menjadi korban pembegalan mengata­kan seharusnya pemko menyediakan pos keamanan yang di titik-titik rawan kejahatan. Polisi harus berjaga di pos tersebut khususnya pada malam hari sehingga masyarakat tidak takut untuk melewati jalan tersebut.

"Saya juga kemarin dibegal di Jalan Karantina yang penerangannya kurang baik, selain itu banyak jalan yang berlu­bang. Itu juga menjadi penghambat pe­ngendara untuk melaju cepat ketika ada yang pengendara lain yang mengi­kuti dari belakang," ujarnya. (amal)

Jumat, 23 Oktober 2015

Hamil Tak Punya Biaya, Koordinasi ke Dinsos

SUMUTPOS.CO - Kasus penjualan bayi yang dilakoni Rusli Hartanto alias A Yong (30), Kapolresta Medan Kombes Pol Nico Afinta mengimbau masyarakat yang tidak mempunyai biaya bersalin agar melapor dan berkoordinasi dengan Dinas Sosial.

"Diimbau bagi wanita yang tidak mempunyai biaya berkoordinasi dengan Dinas Sosial, karena negara menjamin perlindungan anak," ucap Kombes Nico, Senin (30/6) sore.

Lanjut dikatakannya, polisi saat ini telah menerima laporan korban penjualan bayi dan pelaku penjualan bayi, A Yong tengah menjalani pemeriksaan secara intensif di Unit PPA Polresta Medan.

"Saat ini kita lagi proses pengejaran penadahnya berinisial S," ujar Kombes Nico.

Di tempat terpisah, Redyanto Sidi, seorang kriminolog berharap agar polisi tidak mudah percaya dengan pengakuan pelaku perdagangan anak dengan alasan ekonomi.

"Kalau dari sisi kajian kriminalnya, pelaku ini melakukan kriminal ekonomi. Jadi polisi jangan mudah percaya dengan motif pelaku tersebut," ujarnya.

Redyanto juga mengatakan bahwa bisa jadi si pelaku memiliki sindikat penjual bayi. “Prilakunya yang menghamili wanita yang dikencaninya bisa jadi juga adalah hal yang sering dilakukannya. Mungkin dia pandai merayu. Jadi dengan jurus rayuannya tersebut bisa memikat banyak wanita. Dihamili lalu bayinya pun dijual," pungkasnya mencurigai.

Dirinya juga mengatakan ini merupakan PR bagi pemerintah kota Medan. Pihak berwenang harus melakukan penjajakan terhadap sindikat ini. "Pelaku harus dihukun dengan tegas. Dia itu sudah melakukan transaksi, jadi ngga mungkin dia ngga tahu siapa pembelinya. Dia kan melakukan transaksinya di suatu tempat," ungkapnya. (cr2/bd)
Fenomena Mahasiswa Bunuh Diri, Ini Kata Para Ahli

Status mahasiswa –apalagi berprestasi- dan dianggap kaum intelek, ternyata tak membuat sebagian diantaranya berfikir jauh. Terbukti, 5 kasus bunuh diri belakangan ini, dilakukan mahasiswa. Terbaru dan menghebohkan, adalah kematian Elpiana Theresia br Ambarita, mahasiswi berprestasi Fakultas Hukum USU.

Dia ditemukan gantung diri di kamar kosnya, Minggu (17/5) malam. Sebelumnya, Frendis, mahasiswa Fakultas Teknik USU ditemukan adiknya tergantung kaku di kamar kos mereka di Jl. Jamin Ginting, Pasar I Padang Bulan, pada 19 Oktober 2014.

Lalu mahasiswa Fakultas Pertanian USU, Mario Sianipar (21), nekat menjerat lehernya sendiri di kamarnya di Jl. Damar Kelurahan Sei Putih I Medan. Ada juga Dedi Nur Setianto yang ditemukan pada 4 Februari 2015. Ia merupakan mahasiswa Semester IV Jurusan Teknik Mesin Sekolah Tinggi Teknik Harapan Medan. Sedangkan Afandi Gultom yang ditemukan pada 23 Maret 2015, adalah mahasiswa Unimed jurusan PPKN.

Maraknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa, menurut Redyanto Sidi SH.MH, selaku kriminolog, karena ketertutupan pada orang-orang di sekitarnya. “Kita kategorikan korban ini sebagai kaum intelektual, karena sudah memiliki pemikiran yang luas. Dan intinya kenekatan korban ini karena tidak terbuka kepada keluarga, teman. Dan jika seseorang tertutup, maka akan lebih mudah menghadapi jalan buntu atau deadlock. Ujungnya timbul keputusasaan,” jelasnya.

Lanjut Dosen dari Fakultas Hukum UMSU, akibat keputus asaan tersebut, mengakibat korban melakukan perbuatan yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain. “Jika seseorang sudah putus asa, maka pikirannya tidak stabil dan cenderung berbuat nekat, menyakiti dirinya sendiri, bahkan sampai nekat mengakhiri hidup,” ujarnya.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Humaniora ini mengajak peran keluarga, dan khususnya untuk pihak kampus sendiri memberikan perhatian kepada mahasiswanya. Dan walaupun tidak secara penuh setidaknya memberikan masukan dan bimbingan kepada mahasiswa. “Keluarga sangat berperan, begitu juga dengan pihak kampus sendiri, memberikan sedikit masukan atau pembinaan atau formula-formula lain untuk lebih dekat ke mahasiswa melalui dosen penasehat akademik,” terangnya.

Dan memberikan arahan kepada mahasiswa agar dapat membagi waktu antara waktu belajar, waktu untuk keluarga dan waktu untuk pasangan. “Kalau pun ada pasangan atau kekasih, diharapkan jangan berlebihan dan harus lebih diutamakan pelajaran. Dan memantau mahasiswa, minimal sedikit waktu untuk memberikan pemahaman-pemahaman seperti itu,” jelasnya.

Senada disampaikan psikolog yang juga merupakan dosen Universitas Medan Area (UMA), Hj. Risydah Fadilah, S.Psi, M.Psi. Psikolog yang akrab di panggil dengan sebutan Dila itu mengatakan sangat memungkinkan korban bunuh diri belajar dari korban sebelumnya. Korban merasa betapa nikmat dan mudahnya bunuh diri yang dapat melenyapkan semua beban hidup ini.
Bunuh diri juga terjadi bukan karena satu masalah saja. Biasanya bunuh diri terjadi akibat dari tekanan permasalahan yang telah terakumulasi. Tepat dipuncak emosi, masalah yang sebelumnya belum usai malah ditambah lagi dengan masalah baru. Disaat itulah niat bunuh diri akan muncul.

“Bisa saja dia belajar dari korban sebelumnya. Dia merasa kok sepertinya enak ya bunuh diri. Bisa hilangkan semua masalah dalam sekejap saja. Jadi korban mencontoh skorban sebelumnya. Bisa juga mereka belajar dari media. Jadi memang media ini ada sisi negatif dan sisi positifnya. Saran saya agar media tidak terlalu vulgar menayangkan hal seperti ini,” ungkapnya.

Dila mengatakan sebenarnya perilaku orang itu beragam. Pembentukannya antara satu dengan yang lainnya tidaklah sama. Inilah yang disebut dengan kepribadian yang dibentuk secara kumulatif dari orang tersebut lahir hingga dewasa.

Melihat kasus bunuh diri dari mahasiswi yang dikenal berprestasi itu, Dila mengatakan memungkinkan saja bunuh diri dilakukan. Sebab kecerdasan dalam hal IQ tidaklah sejalan dengan kecerdasan emosi. Pada umumnya seseorang yang disebut cerdas itu adalah orang-orang yang memakai kaca mata, duduk di depan kelas, dan tidak memiliki kawan. Mereka terkenal suka menyendiri. Sehingga pemebntukan perilakunya dikatakan sebagai orang yang pendiam.

Namun dari segi klinisnya orang-orang seperti itu tidak bisa menyelesaikan masalah secara cermat. Dalam ilmu psikologi orang seperti itu disebut Dependent (bergantung). Biasanya orang Dependent terbentuk akibat tuntutan dari pihak keluarga yang terus menuntut prestasi di bidang akademis. Sehingga aspek sosilisasinya dalam masyarakat kurang ditekankan. Akhirnya mereka tidak memiliki banyak teman.

Akibatnya setiap ada permasalahan mereka tidak bisa menyelesaikannya sendiri. Sehingga mereka butuh adanya sosok figur yang bisa dijadikan tempat mencurahkan masalahnya. Ketika figur tersebut hilang maka dia akan merasa kesepian dan meraa hidupnya hampa.

“Biasanya orang seperti inilah yang nekat bunuh diri. Atau kalau tidak mengalami gangguan jiwa. Kalau ga berhasil bunuh dirinya, maka ia akan berusaha bunuh diri lagi jika masalahnya belum selesai. Berbeda dengn orang yang tergolong independent. Mereka bisa menyelesaikan masalahnya sendiri,”ungkapnya.

Untuk itu diharapkan agara orang-orang disekitar mereka yang memiliki tipe Dependent agar memberikan kepeduliannya lebih lagi. Perlu adanya perhatian serius dari lingkungan terdekatnya. Selain itu dirinya juga menyaranakan agar kembali ke fitrah manusia yaitu dekat dengn Tuhan Yang Maha Esa. Tidak dipungkiri semakin modernnya kehidupan, kita menjadi jauh dari agama. Sehingga bisa membentengi dengan baik diri sendiri dari keinginan yang buruk.

“Kita harus meningkatkan kepedulian dengan sesama. Jadi orang-orang yang mau bunuh diri pasti menunjukkan perilaku aneh. Jadi harus ditanya dan ditemani jika ada seseorang yang menunjukkan tanda seperti itu. Apalagi jika dia memag tipe ormg yang Dependent,”ujarnya sembari mengatakan dukungan keluarga sangatlah penting.(win/bay/trg)
Adikku Rusak Sejak Dekat dengan Jeki Cewek 15 Tahun jadi Joki Jambret


Krimonolog Redyanto Sidi, S.H menyebut Suci yang nekat jadi joki jambret adalah korban dari evolusi recruitment. Dengan kata lain, dia jadi korban dari pemanfaatan Jeki. “Kalau kejadiannya seperti ini, cewek tersebut adalah korban yang dijadikan atau dimanfaatkan oleh laki-laki untuk melakukan kejahatan,” jelasnya.

Dijelaskan Dosen Fakultas Hukum UMSU ini, kalau modus yang dilakukan Jeki adalah dengan mengajaknya dengan cara pendekatan seperti pertemanan, percintaan atau balas budi. Dan setelah itu, Suci diarahkan ke sisi negatif seperti narkoba yang menyebabkannya kecanduan. “Laki-laki ini membujuk si cewek, lalu mengenalkannya dengan narkoba. Sehingga cewek ini menjadi kecanduan dan ketagihan,” ujarnya.

Lalu akibat kecanduan tersebut, si cewek pun akan dengan gampangnya diarahkan untuk melakukan tindak kejahatan demi untuk menghilangkan candunya. “Kemudian setelah korban kecanduan, saat itu cewek ini akan dengan gampang diarahkan untuk berbuat kejahatan asalkan candunya itu terpuaskan,” ungkapnya.

Lalu lanjut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Humaniora ini, setelah terjerumus dengan narkoba maka akan terjerumus ke dunia seks bebas. Dan dalam hal ini Suci akan lebih mudah dimanfaatkan oleh Jeki. “Kalau udah narkoba, pasti ujungnya itu seks. Itu tidak jauh dan sejalan. Disini si cewek akan terus dimanfaatkan sama laki-laki untuk memenuhi hasratnya,” terangnya.

Dampak yang lebih buruk, Suci akan bertindak lebih jauh. Dalam hal ini, Jeki tidak perlu menyuruh atau mengarahkannya lagi. Artinya Suci akan memiliki inisiatif sendiri untuk melakukan kejahatan. “Kalau sudah terlalu jauh, si cewek ini yang sudah punya inisiatif sendiri untuk melakukan kejahatan. Tidak perlu arahan dari laki-lakinya, alasannya demi menghilangkan atau memuaskan kecanduannya akan narkoba dan hasrat akan seksnya,” ucapnya.

Dirinya pun mengimbau kepada orangtua dan keluarga untuk lebih memperhatikan pergaulan anak dan keluarganya. Dengan cara lebih mendekatkan diri kepada sang anak untuk cerita mengenai permasalahan yang dihadapi sehingga tidak salah dalam mengambil sikap. “Kita harap orangtua dapat lebih peduli kepada anak-anak, mulailah sharing dan curhat kepada sang anak mengenai masalah yang dihadapi. Jangan sampai dia cerita dengan orang yang salah dan kemudian dimanfaatkan oleh orang tak bertanggung jawab untuk kepentingan kejahatan,” harapnya. (mri/bay/deo)
Masuk Gedung DPRD Sumut Wajib Tunjukkan KTP Pasca Hilangnya Kaca Spion Mobil Anggota Dewan

Memasuki gedung DPRDSU tak semudah sebelumnya. Hal itu dilakukan karena pasca pencurian spion mobil Mercy milik Ketua Komisi C DPRD Sumut, Muchrid Nasution Jumat (27/2) lalu.

Setiap pengunjung yang hendak memasuki areal gedung, harus menyerahkan tanda pengenal seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sedangkan untuk para awak media, diminta memberikan kartu pengenal yang sah. Setelah menyerahkan, kartu kemudian digantikan dengan pengenal khusus bertuliskan Tamu atau Wartawan. Setelah selesai, kartu dierahkan dan tanda pengenal dikembalikan kepada pemiliknya.
Hal ini merupakan wujud pengendalian pengunjung agar dapat diidentifikasi siapa saja yang hadir dan untuk urusan apa berada di gedung dewan selain anggota legislatif, pegawai, staf. Hal ini diungkapkan salah seorang anggota dewan, Ikrimah Hamidy. “Ditanya dulu bertemu siapa dan urusan apa,” ungkapnya.

Ketua Komisi C DPRD Sumut, Muchrid Nasution atau akrab dipanggil Coki, menceritakan dari hasil rekaman CCTV yang ada di sana, diketahui bahwa pelakunya menggunakan mobil sejenis Innova. Dari dalam mobil pelaku melakukan aksi pencurian dengan memepetkan mobilnya ke mobil Coki.

“Pintar dia. Biar gak kelihatan dibukanya pintu baru beraksi dia. Artinya, dia kan gak jelas mau apa ke gedung ini. Kalau ada kejelasan apa tujuan, pasti gak akan kejadian,” ungkapnya.

Senada dengan Coki, Kasubbag Rumah Tangga Sekretariat Dewan, Pahasim Harahap, menyebutkan kebijakan ini untuk mengantisipasi kehadiran pengunjung. Selama ini terkesan terlalu bebas untuk masuk kedalam gedung. “Ya ini supaya tertib saja, tidak sembarangan keluar masuk lagi,” pungkasnya

Beberapa pengunjung seperti masyarakat dan awak media terkejut dengan kebijakan baru tersebut. Pasalnya, selama ini jika memasuki gedung tak perlu menghampiri petugas Satpam, kecuali bertanya keberadaan suatu ruangan. Seperti yang diungkapkan Kiki, salah seorang awak media di kota Medan. Dirinya agak terkejut dengan kebijakan baruntersebut.

“Agak repot ya. Biasanya kartu pers aku gantung aja di leher. Jadi begitu dilihatnya aku wartawan kan udah masuk aja. Lagi pun udah biasa aku kemari jadi udah tahulah mereka aku wartawan tanpa harus tunjukin kartu pers,” ungkapnya.

Seorang Kriminolog, Redyanto Sidi, mengatakan bahwa pihak DPRDSU terlambat menerapkan kebijakan tersebut. Seharusnya sudah sejak awal kebijakan ini diterapkan.

“Ini justru terlambat. Jadi ketika ada kejadian seperti itu kebijakan tersebut sudah dapat dievaluasi,” ungkapnya. (win/fit)
Kriminolog: Timsus Anti Begal Ditunggu Hasil Kerjanya
 

Selasa, 17 Maret 2015 | 10:07:43


Medan (SIB)- Tim Khusus (Timsus) Anti Begal yang dibentuk pihak kepolisian diharapkan mampu meminimalisir aksi kejahatan jalanan atau begal yang marak  di Kota Medan. Hal itu dikatakan Kriminolog dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Redyanto Sidi SH, MH.

"Kita lihat saja kinerja polisi, mungkin ini strategi polisi untuk memberantas begal atau kejahatan jalanan yang saat ini sangat marak terjadi," pungkasnya kepada wartawan SIB, Senin (16/3) sore.

Dia menjelaskan, pembentukan tim kejahatan seperti Timsus Begal ini, sepertinya bukan pertama kali dilakukan pihak kepolisian. Beberapa tahun lalu, kepolisian Sumatera Utara juga telah membentuk Tim Pemburu Preman (TPP).

"Kita tidak tahu, apakah Timsus Begal ini sama dengan TPP. Pembentukan TPP maknanya lebih kasar karena preman. Nah, TPP sendiri sudah berhasil menekan angka preman. Sekarang masyarakat mau minta bukti apakah Timsus Begal bisa menekan angka kejahatan jalanan," sebut Dosen Hukum dan Pidana Umum tersebut.

Timsus Begal ini, menurut dia, akan mampu menekan aksi kejahatan jalanan apabila pihak kepolisian serius menjalankannya. "Tidak perlu berapa banyaknya petugas di dalam tim itu, kalau memang serius bekerja di lapangan pasti bisa. Pembentukan tim ini kan sebelumnya sudah ada persiapannya. Kalau bisa setiap tim itu harus ada di setiap satu kecamatan," pungkasnya.

Walaupun sudah membentuk Timsus ini, lanjut dia, pihak kepolisian juga harus membangunkan lagi Polisi Masyarakat (Polmas) atau Keamanan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas). "Polmas harus diaktifkan kembali di setiap lingkungan. Ini kan pencegahan dan lebih baik dilakukan daripada penindakan. Dari sini kan bisa dicari bibit-bibit begal," tambah dia.

Maraknya aksi kejahatan jalanan atau begal belakang ini, membuat pihak Poldasu berang. Pada Jumat (13/3) lalu, Kapoldasu Irjen Pol Eko Hadi Sutedjo pun mengintruksikan untuk membentuk Tim Khusus Anti Begal. Timsus itu terdiri dari 15 tim yang terdiri dari 10 tim dari Polresta Medan dan Polsek serta 5 tim dari Poldasu. Menurut data di kepolisian ada 12 titik rawan aksi begal di Kota Medan. (Dik-SPS/i)