Hamil Tak Punya Biaya, Koordinasi ke Dinsos
SUMUTPOS.CO - Kasus penjualan bayi yang dilakoni Rusli Hartanto alias A Yong (30), Kapolresta Medan Kombes Pol Nico Afinta mengimbau masyarakat yang tidak mempunyai biaya bersalin agar melapor dan berkoordinasi dengan Dinas Sosial.
"Diimbau bagi wanita yang tidak mempunyai biaya berkoordinasi dengan Dinas Sosial, karena negara menjamin perlindungan anak," ucap Kombes Nico, Senin (30/6) sore.
Lanjut dikatakannya, polisi saat ini telah menerima laporan korban penjualan bayi dan pelaku penjualan bayi, A Yong tengah menjalani pemeriksaan secara intensif di Unit PPA Polresta Medan.
"Saat ini kita lagi proses pengejaran penadahnya berinisial S," ujar Kombes Nico.
Di tempat terpisah, Redyanto Sidi, seorang kriminolog berharap agar polisi tidak mudah percaya dengan pengakuan pelaku perdagangan anak dengan alasan ekonomi.
"Kalau dari sisi kajian kriminalnya, pelaku ini melakukan kriminal ekonomi. Jadi polisi jangan mudah percaya dengan motif pelaku tersebut," ujarnya.
Redyanto juga mengatakan bahwa bisa jadi si pelaku memiliki sindikat penjual bayi. “Prilakunya yang menghamili wanita yang dikencaninya bisa jadi juga adalah hal yang sering dilakukannya. Mungkin dia pandai merayu. Jadi dengan jurus rayuannya tersebut bisa memikat banyak wanita. Dihamili lalu bayinya pun dijual," pungkasnya mencurigai.
Dirinya juga mengatakan ini merupakan PR bagi pemerintah kota Medan. Pihak berwenang harus melakukan penjajakan terhadap sindikat ini. "Pelaku harus dihukun dengan tegas. Dia itu sudah melakukan transaksi, jadi ngga mungkin dia ngga tahu siapa pembelinya. Dia kan melakukan transaksinya di suatu tempat," ungkapnya. (cr2/bd)
Jumat, 23 Oktober 2015
Fenomena Mahasiswa Bunuh Diri, Ini Kata Para Ahli
Status mahasiswa –apalagi berprestasi- dan dianggap kaum intelek, ternyata tak membuat sebagian diantaranya berfikir jauh. Terbukti, 5 kasus bunuh diri belakangan ini, dilakukan mahasiswa. Terbaru dan menghebohkan, adalah kematian Elpiana Theresia br Ambarita, mahasiswi berprestasi Fakultas Hukum USU.
Dia ditemukan gantung diri di kamar kosnya, Minggu (17/5) malam. Sebelumnya, Frendis, mahasiswa Fakultas Teknik USU ditemukan adiknya tergantung kaku di kamar kos mereka di Jl. Jamin Ginting, Pasar I Padang Bulan, pada 19 Oktober 2014.
Lalu mahasiswa Fakultas Pertanian USU, Mario Sianipar (21), nekat menjerat lehernya sendiri di kamarnya di Jl. Damar Kelurahan Sei Putih I Medan. Ada juga Dedi Nur Setianto yang ditemukan pada 4 Februari 2015. Ia merupakan mahasiswa Semester IV Jurusan Teknik Mesin Sekolah Tinggi Teknik Harapan Medan. Sedangkan Afandi Gultom yang ditemukan pada 23 Maret 2015, adalah mahasiswa Unimed jurusan PPKN.
Maraknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa, menurut Redyanto Sidi SH.MH, selaku kriminolog, karena ketertutupan pada orang-orang di sekitarnya. “Kita kategorikan korban ini sebagai kaum intelektual, karena sudah memiliki pemikiran yang luas. Dan intinya kenekatan korban ini karena tidak terbuka kepada keluarga, teman. Dan jika seseorang tertutup, maka akan lebih mudah menghadapi jalan buntu atau deadlock. Ujungnya timbul keputusasaan,” jelasnya.
Lanjut Dosen dari Fakultas Hukum UMSU, akibat keputus asaan tersebut, mengakibat korban melakukan perbuatan yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain. “Jika seseorang sudah putus asa, maka pikirannya tidak stabil dan cenderung berbuat nekat, menyakiti dirinya sendiri, bahkan sampai nekat mengakhiri hidup,” ujarnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Humaniora ini mengajak peran keluarga, dan khususnya untuk pihak kampus sendiri memberikan perhatian kepada mahasiswanya. Dan walaupun tidak secara penuh setidaknya memberikan masukan dan bimbingan kepada mahasiswa. “Keluarga sangat berperan, begitu juga dengan pihak kampus sendiri, memberikan sedikit masukan atau pembinaan atau formula-formula lain untuk lebih dekat ke mahasiswa melalui dosen penasehat akademik,” terangnya.
Dan memberikan arahan kepada mahasiswa agar dapat membagi waktu antara waktu belajar, waktu untuk keluarga dan waktu untuk pasangan. “Kalau pun ada pasangan atau kekasih, diharapkan jangan berlebihan dan harus lebih diutamakan pelajaran. Dan memantau mahasiswa, minimal sedikit waktu untuk memberikan pemahaman-pemahaman seperti itu,” jelasnya.
Senada disampaikan psikolog yang juga merupakan dosen Universitas Medan Area (UMA), Hj. Risydah Fadilah, S.Psi, M.Psi. Psikolog yang akrab di panggil dengan sebutan Dila itu mengatakan sangat memungkinkan korban bunuh diri belajar dari korban sebelumnya. Korban merasa betapa nikmat dan mudahnya bunuh diri yang dapat melenyapkan semua beban hidup ini.
Bunuh diri juga terjadi bukan karena satu masalah saja. Biasanya bunuh diri terjadi akibat dari tekanan permasalahan yang telah terakumulasi. Tepat dipuncak emosi, masalah yang sebelumnya belum usai malah ditambah lagi dengan masalah baru. Disaat itulah niat bunuh diri akan muncul.
“Bisa saja dia belajar dari korban sebelumnya. Dia merasa kok sepertinya enak ya bunuh diri. Bisa hilangkan semua masalah dalam sekejap saja. Jadi korban mencontoh skorban sebelumnya. Bisa juga mereka belajar dari media. Jadi memang media ini ada sisi negatif dan sisi positifnya. Saran saya agar media tidak terlalu vulgar menayangkan hal seperti ini,” ungkapnya.
Dila mengatakan sebenarnya perilaku orang itu beragam. Pembentukannya antara satu dengan yang lainnya tidaklah sama. Inilah yang disebut dengan kepribadian yang dibentuk secara kumulatif dari orang tersebut lahir hingga dewasa.
Melihat kasus bunuh diri dari mahasiswi yang dikenal berprestasi itu, Dila mengatakan memungkinkan saja bunuh diri dilakukan. Sebab kecerdasan dalam hal IQ tidaklah sejalan dengan kecerdasan emosi. Pada umumnya seseorang yang disebut cerdas itu adalah orang-orang yang memakai kaca mata, duduk di depan kelas, dan tidak memiliki kawan. Mereka terkenal suka menyendiri. Sehingga pemebntukan perilakunya dikatakan sebagai orang yang pendiam.
Namun dari segi klinisnya orang-orang seperti itu tidak bisa menyelesaikan masalah secara cermat. Dalam ilmu psikologi orang seperti itu disebut Dependent (bergantung). Biasanya orang Dependent terbentuk akibat tuntutan dari pihak keluarga yang terus menuntut prestasi di bidang akademis. Sehingga aspek sosilisasinya dalam masyarakat kurang ditekankan. Akhirnya mereka tidak memiliki banyak teman.
Akibatnya setiap ada permasalahan mereka tidak bisa menyelesaikannya sendiri. Sehingga mereka butuh adanya sosok figur yang bisa dijadikan tempat mencurahkan masalahnya. Ketika figur tersebut hilang maka dia akan merasa kesepian dan meraa hidupnya hampa.
“Biasanya orang seperti inilah yang nekat bunuh diri. Atau kalau tidak mengalami gangguan jiwa. Kalau ga berhasil bunuh dirinya, maka ia akan berusaha bunuh diri lagi jika masalahnya belum selesai. Berbeda dengn orang yang tergolong independent. Mereka bisa menyelesaikan masalahnya sendiri,”ungkapnya.
Untuk itu diharapkan agara orang-orang disekitar mereka yang memiliki tipe Dependent agar memberikan kepeduliannya lebih lagi. Perlu adanya perhatian serius dari lingkungan terdekatnya. Selain itu dirinya juga menyaranakan agar kembali ke fitrah manusia yaitu dekat dengn Tuhan Yang Maha Esa. Tidak dipungkiri semakin modernnya kehidupan, kita menjadi jauh dari agama. Sehingga bisa membentengi dengan baik diri sendiri dari keinginan yang buruk.
“Kita harus meningkatkan kepedulian dengan sesama. Jadi orang-orang yang mau bunuh diri pasti menunjukkan perilaku aneh. Jadi harus ditanya dan ditemani jika ada seseorang yang menunjukkan tanda seperti itu. Apalagi jika dia memag tipe ormg yang Dependent,”ujarnya sembari mengatakan dukungan keluarga sangatlah penting.(win/bay/trg)
Status mahasiswa –apalagi berprestasi- dan dianggap kaum intelek, ternyata tak membuat sebagian diantaranya berfikir jauh. Terbukti, 5 kasus bunuh diri belakangan ini, dilakukan mahasiswa. Terbaru dan menghebohkan, adalah kematian Elpiana Theresia br Ambarita, mahasiswi berprestasi Fakultas Hukum USU.
Dia ditemukan gantung diri di kamar kosnya, Minggu (17/5) malam. Sebelumnya, Frendis, mahasiswa Fakultas Teknik USU ditemukan adiknya tergantung kaku di kamar kos mereka di Jl. Jamin Ginting, Pasar I Padang Bulan, pada 19 Oktober 2014.
Lalu mahasiswa Fakultas Pertanian USU, Mario Sianipar (21), nekat menjerat lehernya sendiri di kamarnya di Jl. Damar Kelurahan Sei Putih I Medan. Ada juga Dedi Nur Setianto yang ditemukan pada 4 Februari 2015. Ia merupakan mahasiswa Semester IV Jurusan Teknik Mesin Sekolah Tinggi Teknik Harapan Medan. Sedangkan Afandi Gultom yang ditemukan pada 23 Maret 2015, adalah mahasiswa Unimed jurusan PPKN.
Maraknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa, menurut Redyanto Sidi SH.MH, selaku kriminolog, karena ketertutupan pada orang-orang di sekitarnya. “Kita kategorikan korban ini sebagai kaum intelektual, karena sudah memiliki pemikiran yang luas. Dan intinya kenekatan korban ini karena tidak terbuka kepada keluarga, teman. Dan jika seseorang tertutup, maka akan lebih mudah menghadapi jalan buntu atau deadlock. Ujungnya timbul keputusasaan,” jelasnya.
Lanjut Dosen dari Fakultas Hukum UMSU, akibat keputus asaan tersebut, mengakibat korban melakukan perbuatan yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain. “Jika seseorang sudah putus asa, maka pikirannya tidak stabil dan cenderung berbuat nekat, menyakiti dirinya sendiri, bahkan sampai nekat mengakhiri hidup,” ujarnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Humaniora ini mengajak peran keluarga, dan khususnya untuk pihak kampus sendiri memberikan perhatian kepada mahasiswanya. Dan walaupun tidak secara penuh setidaknya memberikan masukan dan bimbingan kepada mahasiswa. “Keluarga sangat berperan, begitu juga dengan pihak kampus sendiri, memberikan sedikit masukan atau pembinaan atau formula-formula lain untuk lebih dekat ke mahasiswa melalui dosen penasehat akademik,” terangnya.
Dan memberikan arahan kepada mahasiswa agar dapat membagi waktu antara waktu belajar, waktu untuk keluarga dan waktu untuk pasangan. “Kalau pun ada pasangan atau kekasih, diharapkan jangan berlebihan dan harus lebih diutamakan pelajaran. Dan memantau mahasiswa, minimal sedikit waktu untuk memberikan pemahaman-pemahaman seperti itu,” jelasnya.
Senada disampaikan psikolog yang juga merupakan dosen Universitas Medan Area (UMA), Hj. Risydah Fadilah, S.Psi, M.Psi. Psikolog yang akrab di panggil dengan sebutan Dila itu mengatakan sangat memungkinkan korban bunuh diri belajar dari korban sebelumnya. Korban merasa betapa nikmat dan mudahnya bunuh diri yang dapat melenyapkan semua beban hidup ini.
Bunuh diri juga terjadi bukan karena satu masalah saja. Biasanya bunuh diri terjadi akibat dari tekanan permasalahan yang telah terakumulasi. Tepat dipuncak emosi, masalah yang sebelumnya belum usai malah ditambah lagi dengan masalah baru. Disaat itulah niat bunuh diri akan muncul.
“Bisa saja dia belajar dari korban sebelumnya. Dia merasa kok sepertinya enak ya bunuh diri. Bisa hilangkan semua masalah dalam sekejap saja. Jadi korban mencontoh skorban sebelumnya. Bisa juga mereka belajar dari media. Jadi memang media ini ada sisi negatif dan sisi positifnya. Saran saya agar media tidak terlalu vulgar menayangkan hal seperti ini,” ungkapnya.
Dila mengatakan sebenarnya perilaku orang itu beragam. Pembentukannya antara satu dengan yang lainnya tidaklah sama. Inilah yang disebut dengan kepribadian yang dibentuk secara kumulatif dari orang tersebut lahir hingga dewasa.
Melihat kasus bunuh diri dari mahasiswi yang dikenal berprestasi itu, Dila mengatakan memungkinkan saja bunuh diri dilakukan. Sebab kecerdasan dalam hal IQ tidaklah sejalan dengan kecerdasan emosi. Pada umumnya seseorang yang disebut cerdas itu adalah orang-orang yang memakai kaca mata, duduk di depan kelas, dan tidak memiliki kawan. Mereka terkenal suka menyendiri. Sehingga pemebntukan perilakunya dikatakan sebagai orang yang pendiam.
Namun dari segi klinisnya orang-orang seperti itu tidak bisa menyelesaikan masalah secara cermat. Dalam ilmu psikologi orang seperti itu disebut Dependent (bergantung). Biasanya orang Dependent terbentuk akibat tuntutan dari pihak keluarga yang terus menuntut prestasi di bidang akademis. Sehingga aspek sosilisasinya dalam masyarakat kurang ditekankan. Akhirnya mereka tidak memiliki banyak teman.
Akibatnya setiap ada permasalahan mereka tidak bisa menyelesaikannya sendiri. Sehingga mereka butuh adanya sosok figur yang bisa dijadikan tempat mencurahkan masalahnya. Ketika figur tersebut hilang maka dia akan merasa kesepian dan meraa hidupnya hampa.
“Biasanya orang seperti inilah yang nekat bunuh diri. Atau kalau tidak mengalami gangguan jiwa. Kalau ga berhasil bunuh dirinya, maka ia akan berusaha bunuh diri lagi jika masalahnya belum selesai. Berbeda dengn orang yang tergolong independent. Mereka bisa menyelesaikan masalahnya sendiri,”ungkapnya.
Untuk itu diharapkan agara orang-orang disekitar mereka yang memiliki tipe Dependent agar memberikan kepeduliannya lebih lagi. Perlu adanya perhatian serius dari lingkungan terdekatnya. Selain itu dirinya juga menyaranakan agar kembali ke fitrah manusia yaitu dekat dengn Tuhan Yang Maha Esa. Tidak dipungkiri semakin modernnya kehidupan, kita menjadi jauh dari agama. Sehingga bisa membentengi dengan baik diri sendiri dari keinginan yang buruk.
“Kita harus meningkatkan kepedulian dengan sesama. Jadi orang-orang yang mau bunuh diri pasti menunjukkan perilaku aneh. Jadi harus ditanya dan ditemani jika ada seseorang yang menunjukkan tanda seperti itu. Apalagi jika dia memag tipe ormg yang Dependent,”ujarnya sembari mengatakan dukungan keluarga sangatlah penting.(win/bay/trg)
Adikku Rusak Sejak Dekat dengan Jeki Cewek 15 Tahun jadi Joki Jambret
Krimonolog Redyanto Sidi, S.H menyebut Suci yang nekat jadi joki jambret adalah korban dari evolusi recruitment. Dengan kata lain, dia jadi korban dari pemanfaatan Jeki. “Kalau kejadiannya seperti ini, cewek tersebut adalah korban yang dijadikan atau dimanfaatkan oleh laki-laki untuk melakukan kejahatan,” jelasnya.
Dijelaskan Dosen Fakultas Hukum UMSU ini, kalau modus yang dilakukan Jeki adalah dengan mengajaknya dengan cara pendekatan seperti pertemanan, percintaan atau balas budi. Dan setelah itu, Suci diarahkan ke sisi negatif seperti narkoba yang menyebabkannya kecanduan. “Laki-laki ini membujuk si cewek, lalu mengenalkannya dengan narkoba. Sehingga cewek ini menjadi kecanduan dan ketagihan,” ujarnya.
Lalu akibat kecanduan tersebut, si cewek pun akan dengan gampangnya diarahkan untuk melakukan tindak kejahatan demi untuk menghilangkan candunya. “Kemudian setelah korban kecanduan, saat itu cewek ini akan dengan gampang diarahkan untuk berbuat kejahatan asalkan candunya itu terpuaskan,” ungkapnya.
Lalu lanjut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Humaniora ini, setelah terjerumus dengan narkoba maka akan terjerumus ke dunia seks bebas. Dan dalam hal ini Suci akan lebih mudah dimanfaatkan oleh Jeki. “Kalau udah narkoba, pasti ujungnya itu seks. Itu tidak jauh dan sejalan. Disini si cewek akan terus dimanfaatkan sama laki-laki untuk memenuhi hasratnya,” terangnya.
Dampak yang lebih buruk, Suci akan bertindak lebih jauh. Dalam hal ini, Jeki tidak perlu menyuruh atau mengarahkannya lagi. Artinya Suci akan memiliki inisiatif sendiri untuk melakukan kejahatan. “Kalau sudah terlalu jauh, si cewek ini yang sudah punya inisiatif sendiri untuk melakukan kejahatan. Tidak perlu arahan dari laki-lakinya, alasannya demi menghilangkan atau memuaskan kecanduannya akan narkoba dan hasrat akan seksnya,” ucapnya.
Dirinya pun mengimbau kepada orangtua dan keluarga untuk lebih memperhatikan pergaulan anak dan keluarganya. Dengan cara lebih mendekatkan diri kepada sang anak untuk cerita mengenai permasalahan yang dihadapi sehingga tidak salah dalam mengambil sikap. “Kita harap orangtua dapat lebih peduli kepada anak-anak, mulailah sharing dan curhat kepada sang anak mengenai masalah yang dihadapi. Jangan sampai dia cerita dengan orang yang salah dan kemudian dimanfaatkan oleh orang tak bertanggung jawab untuk kepentingan kejahatan,” harapnya. (mri/bay/deo)
Krimonolog Redyanto Sidi, S.H menyebut Suci yang nekat jadi joki jambret adalah korban dari evolusi recruitment. Dengan kata lain, dia jadi korban dari pemanfaatan Jeki. “Kalau kejadiannya seperti ini, cewek tersebut adalah korban yang dijadikan atau dimanfaatkan oleh laki-laki untuk melakukan kejahatan,” jelasnya.
Dijelaskan Dosen Fakultas Hukum UMSU ini, kalau modus yang dilakukan Jeki adalah dengan mengajaknya dengan cara pendekatan seperti pertemanan, percintaan atau balas budi. Dan setelah itu, Suci diarahkan ke sisi negatif seperti narkoba yang menyebabkannya kecanduan. “Laki-laki ini membujuk si cewek, lalu mengenalkannya dengan narkoba. Sehingga cewek ini menjadi kecanduan dan ketagihan,” ujarnya.
Lalu akibat kecanduan tersebut, si cewek pun akan dengan gampangnya diarahkan untuk melakukan tindak kejahatan demi untuk menghilangkan candunya. “Kemudian setelah korban kecanduan, saat itu cewek ini akan dengan gampang diarahkan untuk berbuat kejahatan asalkan candunya itu terpuaskan,” ungkapnya.
Lalu lanjut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Humaniora ini, setelah terjerumus dengan narkoba maka akan terjerumus ke dunia seks bebas. Dan dalam hal ini Suci akan lebih mudah dimanfaatkan oleh Jeki. “Kalau udah narkoba, pasti ujungnya itu seks. Itu tidak jauh dan sejalan. Disini si cewek akan terus dimanfaatkan sama laki-laki untuk memenuhi hasratnya,” terangnya.
Dampak yang lebih buruk, Suci akan bertindak lebih jauh. Dalam hal ini, Jeki tidak perlu menyuruh atau mengarahkannya lagi. Artinya Suci akan memiliki inisiatif sendiri untuk melakukan kejahatan. “Kalau sudah terlalu jauh, si cewek ini yang sudah punya inisiatif sendiri untuk melakukan kejahatan. Tidak perlu arahan dari laki-lakinya, alasannya demi menghilangkan atau memuaskan kecanduannya akan narkoba dan hasrat akan seksnya,” ucapnya.
Dirinya pun mengimbau kepada orangtua dan keluarga untuk lebih memperhatikan pergaulan anak dan keluarganya. Dengan cara lebih mendekatkan diri kepada sang anak untuk cerita mengenai permasalahan yang dihadapi sehingga tidak salah dalam mengambil sikap. “Kita harap orangtua dapat lebih peduli kepada anak-anak, mulailah sharing dan curhat kepada sang anak mengenai masalah yang dihadapi. Jangan sampai dia cerita dengan orang yang salah dan kemudian dimanfaatkan oleh orang tak bertanggung jawab untuk kepentingan kejahatan,” harapnya. (mri/bay/deo)
Masuk Gedung DPRD Sumut Wajib Tunjukkan KTP Pasca Hilangnya Kaca Spion Mobil Anggota Dewan
Memasuki gedung DPRDSU tak semudah sebelumnya. Hal itu dilakukan karena pasca pencurian spion mobil Mercy milik Ketua Komisi C DPRD Sumut, Muchrid Nasution Jumat (27/2) lalu.
Setiap pengunjung yang hendak memasuki areal gedung, harus menyerahkan tanda pengenal seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sedangkan untuk para awak media, diminta memberikan kartu pengenal yang sah. Setelah menyerahkan, kartu kemudian digantikan dengan pengenal khusus bertuliskan Tamu atau Wartawan. Setelah selesai, kartu dierahkan dan tanda pengenal dikembalikan kepada pemiliknya.
Hal ini merupakan wujud pengendalian pengunjung agar dapat diidentifikasi siapa saja yang hadir dan untuk urusan apa berada di gedung dewan selain anggota legislatif, pegawai, staf. Hal ini diungkapkan salah seorang anggota dewan, Ikrimah Hamidy. “Ditanya dulu bertemu siapa dan urusan apa,” ungkapnya.
Ketua Komisi C DPRD Sumut, Muchrid Nasution atau akrab dipanggil Coki, menceritakan dari hasil rekaman CCTV yang ada di sana, diketahui bahwa pelakunya menggunakan mobil sejenis Innova. Dari dalam mobil pelaku melakukan aksi pencurian dengan memepetkan mobilnya ke mobil Coki.
“Pintar dia. Biar gak kelihatan dibukanya pintu baru beraksi dia. Artinya, dia kan gak jelas mau apa ke gedung ini. Kalau ada kejelasan apa tujuan, pasti gak akan kejadian,” ungkapnya.
Senada dengan Coki, Kasubbag Rumah Tangga Sekretariat Dewan, Pahasim Harahap, menyebutkan kebijakan ini untuk mengantisipasi kehadiran pengunjung. Selama ini terkesan terlalu bebas untuk masuk kedalam gedung. “Ya ini supaya tertib saja, tidak sembarangan keluar masuk lagi,” pungkasnya
Beberapa pengunjung seperti masyarakat dan awak media terkejut dengan kebijakan baru tersebut. Pasalnya, selama ini jika memasuki gedung tak perlu menghampiri petugas Satpam, kecuali bertanya keberadaan suatu ruangan. Seperti yang diungkapkan Kiki, salah seorang awak media di kota Medan. Dirinya agak terkejut dengan kebijakan baruntersebut.
“Agak repot ya. Biasanya kartu pers aku gantung aja di leher. Jadi begitu dilihatnya aku wartawan kan udah masuk aja. Lagi pun udah biasa aku kemari jadi udah tahulah mereka aku wartawan tanpa harus tunjukin kartu pers,” ungkapnya.
Seorang Kriminolog, Redyanto Sidi, mengatakan bahwa pihak DPRDSU terlambat menerapkan kebijakan tersebut. Seharusnya sudah sejak awal kebijakan ini diterapkan.
“Ini justru terlambat. Jadi ketika ada kejadian seperti itu kebijakan tersebut sudah dapat dievaluasi,” ungkapnya. (win/fit)
Memasuki gedung DPRDSU tak semudah sebelumnya. Hal itu dilakukan karena pasca pencurian spion mobil Mercy milik Ketua Komisi C DPRD Sumut, Muchrid Nasution Jumat (27/2) lalu.
Setiap pengunjung yang hendak memasuki areal gedung, harus menyerahkan tanda pengenal seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sedangkan untuk para awak media, diminta memberikan kartu pengenal yang sah. Setelah menyerahkan, kartu kemudian digantikan dengan pengenal khusus bertuliskan Tamu atau Wartawan. Setelah selesai, kartu dierahkan dan tanda pengenal dikembalikan kepada pemiliknya.
Hal ini merupakan wujud pengendalian pengunjung agar dapat diidentifikasi siapa saja yang hadir dan untuk urusan apa berada di gedung dewan selain anggota legislatif, pegawai, staf. Hal ini diungkapkan salah seorang anggota dewan, Ikrimah Hamidy. “Ditanya dulu bertemu siapa dan urusan apa,” ungkapnya.
Ketua Komisi C DPRD Sumut, Muchrid Nasution atau akrab dipanggil Coki, menceritakan dari hasil rekaman CCTV yang ada di sana, diketahui bahwa pelakunya menggunakan mobil sejenis Innova. Dari dalam mobil pelaku melakukan aksi pencurian dengan memepetkan mobilnya ke mobil Coki.
“Pintar dia. Biar gak kelihatan dibukanya pintu baru beraksi dia. Artinya, dia kan gak jelas mau apa ke gedung ini. Kalau ada kejelasan apa tujuan, pasti gak akan kejadian,” ungkapnya.
Senada dengan Coki, Kasubbag Rumah Tangga Sekretariat Dewan, Pahasim Harahap, menyebutkan kebijakan ini untuk mengantisipasi kehadiran pengunjung. Selama ini terkesan terlalu bebas untuk masuk kedalam gedung. “Ya ini supaya tertib saja, tidak sembarangan keluar masuk lagi,” pungkasnya
Beberapa pengunjung seperti masyarakat dan awak media terkejut dengan kebijakan baru tersebut. Pasalnya, selama ini jika memasuki gedung tak perlu menghampiri petugas Satpam, kecuali bertanya keberadaan suatu ruangan. Seperti yang diungkapkan Kiki, salah seorang awak media di kota Medan. Dirinya agak terkejut dengan kebijakan baruntersebut.
“Agak repot ya. Biasanya kartu pers aku gantung aja di leher. Jadi begitu dilihatnya aku wartawan kan udah masuk aja. Lagi pun udah biasa aku kemari jadi udah tahulah mereka aku wartawan tanpa harus tunjukin kartu pers,” ungkapnya.
Seorang Kriminolog, Redyanto Sidi, mengatakan bahwa pihak DPRDSU terlambat menerapkan kebijakan tersebut. Seharusnya sudah sejak awal kebijakan ini diterapkan.
“Ini justru terlambat. Jadi ketika ada kejadian seperti itu kebijakan tersebut sudah dapat dievaluasi,” ungkapnya. (win/fit)
Kriminolog: Timsus Anti Begal Ditunggu Hasil Kerjanya
Selasa, 17 Maret 2015 | 10:07:43
Medan (SIB)- Tim Khusus (Timsus) Anti Begal yang dibentuk pihak kepolisian diharapkan mampu meminimalisir aksi kejahatan jalanan atau begal yang marak di Kota Medan. Hal itu dikatakan Kriminolog dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Redyanto Sidi SH, MH.
"Kita lihat saja kinerja polisi, mungkin ini strategi polisi untuk memberantas begal atau kejahatan jalanan yang saat ini sangat marak terjadi," pungkasnya kepada wartawan SIB, Senin (16/3) sore.
Dia menjelaskan, pembentukan tim kejahatan seperti Timsus Begal ini, sepertinya bukan pertama kali dilakukan pihak kepolisian. Beberapa tahun lalu, kepolisian Sumatera Utara juga telah membentuk Tim Pemburu Preman (TPP).
"Kita tidak tahu, apakah Timsus Begal ini sama dengan TPP. Pembentukan TPP maknanya lebih kasar karena preman. Nah, TPP sendiri sudah berhasil menekan angka preman. Sekarang masyarakat mau minta bukti apakah Timsus Begal bisa menekan angka kejahatan jalanan," sebut Dosen Hukum dan Pidana Umum tersebut.
Timsus Begal ini, menurut dia, akan mampu menekan aksi kejahatan jalanan apabila pihak kepolisian serius menjalankannya. "Tidak perlu berapa banyaknya petugas di dalam tim itu, kalau memang serius bekerja di lapangan pasti bisa. Pembentukan tim ini kan sebelumnya sudah ada persiapannya. Kalau bisa setiap tim itu harus ada di setiap satu kecamatan," pungkasnya.
Walaupun sudah membentuk Timsus ini, lanjut dia, pihak kepolisian juga harus membangunkan lagi Polisi Masyarakat (Polmas) atau Keamanan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas). "Polmas harus diaktifkan kembali di setiap lingkungan. Ini kan pencegahan dan lebih baik dilakukan daripada penindakan. Dari sini kan bisa dicari bibit-bibit begal," tambah dia.
Maraknya aksi kejahatan jalanan atau begal belakang ini, membuat pihak Poldasu berang. Pada Jumat (13/3) lalu, Kapoldasu Irjen Pol Eko Hadi Sutedjo pun mengintruksikan untuk membentuk Tim Khusus Anti Begal. Timsus itu terdiri dari 15 tim yang terdiri dari 10 tim dari Polresta Medan dan Polsek serta 5 tim dari Poldasu. Menurut data di kepolisian ada 12 titik rawan aksi begal di Kota Medan. (Dik-SPS/i)
Selasa, 17 Maret 2015 | 10:07:43
Medan (SIB)- Tim Khusus (Timsus) Anti Begal yang dibentuk pihak kepolisian diharapkan mampu meminimalisir aksi kejahatan jalanan atau begal yang marak di Kota Medan. Hal itu dikatakan Kriminolog dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Redyanto Sidi SH, MH.
"Kita lihat saja kinerja polisi, mungkin ini strategi polisi untuk memberantas begal atau kejahatan jalanan yang saat ini sangat marak terjadi," pungkasnya kepada wartawan SIB, Senin (16/3) sore.
Dia menjelaskan, pembentukan tim kejahatan seperti Timsus Begal ini, sepertinya bukan pertama kali dilakukan pihak kepolisian. Beberapa tahun lalu, kepolisian Sumatera Utara juga telah membentuk Tim Pemburu Preman (TPP).
"Kita tidak tahu, apakah Timsus Begal ini sama dengan TPP. Pembentukan TPP maknanya lebih kasar karena preman. Nah, TPP sendiri sudah berhasil menekan angka preman. Sekarang masyarakat mau minta bukti apakah Timsus Begal bisa menekan angka kejahatan jalanan," sebut Dosen Hukum dan Pidana Umum tersebut.
Timsus Begal ini, menurut dia, akan mampu menekan aksi kejahatan jalanan apabila pihak kepolisian serius menjalankannya. "Tidak perlu berapa banyaknya petugas di dalam tim itu, kalau memang serius bekerja di lapangan pasti bisa. Pembentukan tim ini kan sebelumnya sudah ada persiapannya. Kalau bisa setiap tim itu harus ada di setiap satu kecamatan," pungkasnya.
Walaupun sudah membentuk Timsus ini, lanjut dia, pihak kepolisian juga harus membangunkan lagi Polisi Masyarakat (Polmas) atau Keamanan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas). "Polmas harus diaktifkan kembali di setiap lingkungan. Ini kan pencegahan dan lebih baik dilakukan daripada penindakan. Dari sini kan bisa dicari bibit-bibit begal," tambah dia.
Maraknya aksi kejahatan jalanan atau begal belakang ini, membuat pihak Poldasu berang. Pada Jumat (13/3) lalu, Kapoldasu Irjen Pol Eko Hadi Sutedjo pun mengintruksikan untuk membentuk Tim Khusus Anti Begal. Timsus itu terdiri dari 15 tim yang terdiri dari 10 tim dari Polresta Medan dan Polsek serta 5 tim dari Poldasu. Menurut data di kepolisian ada 12 titik rawan aksi begal di Kota Medan. (Dik-SPS/i)
Tekan Angka Golput, KPU Medan Gandeng LBH Humaniora
Senin, 19 Oktober 2015 | 16:14
Analisadaily (Medan) - Guna meningkatkan partisipasi warga Kota Medan dalam menggunakan hak pilihnya di Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan pada 9 Desember 2015 mendatang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Medan, bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Humaniora, menggelar diskusi Publik di Hotel Garudacitra, Senin (19/10).
KPU menyadari bahwa tingkat partisipasi warga kota Medan dalam memilih masih sangat rendah. Pilkada Kota Medan tahun 2010, dari total 1.961.155 Daftar Pemilih Tetap (DPT), jumlah pemilih yang hadir dan menggunakan hak pilihnya hanya sebanyak 750.919 orang. Artinya, angka golput saat itu mencapi 61,71 persen. Itu sebabnya diperlukan pendekatan ataupun sosialisasi dengan melibatkan pihak lain sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2015.
“Tingkat partisipasi warga masih rendah, melalui diskusi dengan LBH Humaniora ini, KPU dapat melakukan sosialisasi secara langsung kepada masyarakat (peserta) dari beberapa elemen mengenai pentingnya berpartisipasi dan menggunakan hak pilih dalam Pilkada Kota Medan 2015,” kata Komisioner KPU Medan Irwansyah SH.I., M.H.
Diskusi publik mengangkat tema “Meningkatkan Partisipasi dan Kesadaran Masyarakat dalam Pilkada Serentak Walikota Medan 2015” diharapkan dapat menekan angka golput, khusnya dikalangan pemilih pemula.
“Melaksanakan pemilihan yang bersih, terbuka, bebas dan rahasia, sesuai dengan konstitusi ialah kewajiban setiap warga negara. Jangan pernah golput, karena golput itu bukan pilihan,” tegas Irwansyah.
Sementara Direktur LBH Humaniora R. Sidi S.H., M.H, dalam amterinya mengatakan selain sadar menggunakan hak pilih, masyarakat juga harus aktif dalam mengawal kelancaran pemilihan Walikota Medan 2015. Warga harus berperan aktif guna mewujudkan pemilihan yang bersih, jujur dan kondusif.
“Jika menemui kecurangan saat proses kampanye, pemungutan suara dan pasca pemungutan suara, masyarakat hendaknya melaporkan hal ini kepada lembaga berwenang (Panwalsu) untuk ditindaklanjuti. Pemilihan yang dilaksanakan dengan cara kotor dan curang, tidak akan menghasilkan pemimpin bersih serta amanah,” R. Sidi yang juga dosen Fakultas Hukum UMSU.
Diskusi dihadiri sebanyak 100 peserta yang terdiri dari Ormas, tokoh masyarakat, LSM, perwakilan mahasiswa dan berbagai elemen lainnya. (sp/jpp)
Senin, 19 Oktober 2015 | 16:14
Analisadaily (Medan) - Guna meningkatkan partisipasi warga Kota Medan dalam menggunakan hak pilihnya di Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan pada 9 Desember 2015 mendatang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Medan, bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Humaniora, menggelar diskusi Publik di Hotel Garudacitra, Senin (19/10).
KPU menyadari bahwa tingkat partisipasi warga kota Medan dalam memilih masih sangat rendah. Pilkada Kota Medan tahun 2010, dari total 1.961.155 Daftar Pemilih Tetap (DPT), jumlah pemilih yang hadir dan menggunakan hak pilihnya hanya sebanyak 750.919 orang. Artinya, angka golput saat itu mencapi 61,71 persen. Itu sebabnya diperlukan pendekatan ataupun sosialisasi dengan melibatkan pihak lain sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2015.
“Tingkat partisipasi warga masih rendah, melalui diskusi dengan LBH Humaniora ini, KPU dapat melakukan sosialisasi secara langsung kepada masyarakat (peserta) dari beberapa elemen mengenai pentingnya berpartisipasi dan menggunakan hak pilih dalam Pilkada Kota Medan 2015,” kata Komisioner KPU Medan Irwansyah SH.I., M.H.
Diskusi publik mengangkat tema “Meningkatkan Partisipasi dan Kesadaran Masyarakat dalam Pilkada Serentak Walikota Medan 2015” diharapkan dapat menekan angka golput, khusnya dikalangan pemilih pemula.
“Melaksanakan pemilihan yang bersih, terbuka, bebas dan rahasia, sesuai dengan konstitusi ialah kewajiban setiap warga negara. Jangan pernah golput, karena golput itu bukan pilihan,” tegas Irwansyah.
Sementara Direktur LBH Humaniora R. Sidi S.H., M.H, dalam amterinya mengatakan selain sadar menggunakan hak pilih, masyarakat juga harus aktif dalam mengawal kelancaran pemilihan Walikota Medan 2015. Warga harus berperan aktif guna mewujudkan pemilihan yang bersih, jujur dan kondusif.
“Jika menemui kecurangan saat proses kampanye, pemungutan suara dan pasca pemungutan suara, masyarakat hendaknya melaporkan hal ini kepada lembaga berwenang (Panwalsu) untuk ditindaklanjuti. Pemilihan yang dilaksanakan dengan cara kotor dan curang, tidak akan menghasilkan pemimpin bersih serta amanah,” R. Sidi yang juga dosen Fakultas Hukum UMSU.
Diskusi dihadiri sebanyak 100 peserta yang terdiri dari Ormas, tokoh masyarakat, LSM, perwakilan mahasiswa dan berbagai elemen lainnya. (sp/jpp)
Langganan:
Postingan (Atom)