Rabu, 04 November 2015



Lakukan Penyebaran Kebencian, Bisa Dipidana LBH: SE Kapolri Perlu Dikaji Ulang

Medan, (Analisa). Surat Edaran (SE) Kapolri nomor SE/06/X2015 mengenai pelarangan penyebaran kebencian (Hate Speech) yang hangat dibicarakan belakangan, dinilai terlalu berlebihan. Pasalnya, selain berindikasi mengangkangi kebebasan berpendapat, para peng­guna media sosial (Medsos) dan khalayak yang melakukan Hate Spe­ech bisa diancam sanksi pidana.

Kabid Humas Poldasu, Kombes Pol Helfi Assegaf dalam pesan siaran persnya yang diterima Analisa, Selasa (3/11) siang menjelasakan  Hate Speech merupakan bentuk provokasi maupun hasutan.

"Ucapan kebencian adalah tinda­kan komunikasi yang dilakukan suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain," urainya.

Salah satu contoh ungkapannya itu, seperti kejadian menjurus Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA) di Aceh Singkil dan Tolikora. "Dalam arti hukum, Hate Speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap pra­sangka entah dari pihak pelaku per­nyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut," terangnya.

Hate Speech, sambung Kabid Humas bisa disebarkan melalui situs website, forum internet dan berita. "Website yang menggunakan atau menerapkan Hate Speech ini disebut Hate Site. Kebanyakan dari situs ini menggunakan forum internet dan berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu," katanya.

Kesan berhati-hati terhadap ma­sya­­rakat yang suka ‘berkicau’di medsos, sepertinya harus dimini­malisir. Pasal­nya, sudah ada undang-undang (UU) yang mengatur menge­nai Hate Speech.

"Pelaku Hate Speech bisa dikena­kan sanksi pidana seperti yang diatur dalam pasal  160 KUHP, bisa juga dengan Undang-Undang (UU) nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, UU No 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis," tukasnya.

Dikaji Ulang

Surat Edaran bernomor SE/06/X/2015 yang dikeluarkan Kapolri terkait penegakan hukum yang menyangkut aktivitas berpendapat di depan umum, termasuk di antaranya di media sosial perlu dikaji ulang. Surat edaran itu per­lu disosialisakan lebih lanjut agar ti­dak banyak masyarakat yang ter­jebak.

Hal ini diungkapkan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Humaniora, Redyanto Sidi MH. Menurutnya jenis-jenis pelanggaran dan hukuman yang berlaku perlu lebih disosialisasikan kepada masyarakat. "Dalam surat edaran tersebut ada ancaman pidana kurungan dan denda. Saya khawatir itu akan menimbulkan polemik. Itu perlu diperjelas dan dipertegas oleh Kapolri, lingkupnya kepada siapa dan ditujukan kepada siapa," ujarnya.

Ia mengatakan menjadikan surat edaran tersebut sebagai dasar pemi­danaan merupakan hal yang keliru sebab penghinaan dan pencemaran nama baik sudah diatur di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurutnya surat edaran tersebut tidak bisa mengang­kangi UU ITE yang sudah ada terma­suk soal lingkup pidana yang juga sudah diatur dalam UU ITE.

 "Kalau surat edaran itu mengacu pada KUHP, kita harus ingat bahwa ranah media sosial itu dunia maya. Hal itu sudah diatur di UU ITE maka berlaku lingkup khusus bukan umum. Ada asas hukum pidana yang menya­takan bahwa Pasal 310 itu telah dikesampingkan dengan adanya UU ITE. Jadi setiap perbua­tan yang mencemarkan harkat, martabat atau nama baik seseorang melalui dunia maya itu yang digu­na­­kan UU ITE bukan KUHPidana. Ja­di sebenarnya itu saja sudah cu­kup," tambahnya.

Redyanto juga tidak menampik kemungkinan adanya muatan politis dalam terbitnya surat edaran tersebut, terkait banyaknya netizen yang meng­hujat pemerintah dan kepala negara. Jika dugaan tersebut benar menu­rutnya hal ini merupakan sesuatu yang memalukan dan memilukan.

"Kalau lingkupnya digunakan untuk kekuasaan tentu itu bisa mem­bungkam demokrasi dan kebebasan berekspresi masyarakat yang saat ini sedang menikmati perkembangan teknologi. Masyarakat akan terke­kang kebe­basannya dalam tanda positif untuk melakukan kritikan-kritikan dengan berbagai cara melalui media sosial. Itu bisa menjadi mo­mok yang menakutkan bagi netizen," ungkap­nya.

Untuk itu ia mengatakan surat edaran tersebut harus dikoreksi lagi dan disesuaikan dengan aturan-aturan yang terkait. Banyak orang yang khawatir karena melalui surat edaran itu Polri bisa melakukan penindakan secara pidana atas siapa saja netizen yang melakukan pelanggaran. (yy/amal)


Pemko Diminta Terangi Setiap Jalan


Kasus Pembegalan

Medan, (Analisa). Kasus pembegalan yang marak ter­jadi di Kota Medan mencemaskan war­ga. Pemko Medan diminta untuk lebih memperhatikan penerangan jalan. Jalan yang minim penerangan sering dija­dikan pelaku sebagai tempat bero­perasi.

Demikian disampaikan, Redyanto Sidi MH, direktur LBH Humaniora kepada Analisa, Senin (2/11). Menurut­nya Kota Medan sebagai salah satu kota metropolitan harusnya memiliki pene­rangan yang baik di seluruh wilayah, tidak hanya di pusat kota demi memi­nimalkan daerah rawan pembegalan.

"Warga Kota Medan yang tinggal di daerah minim penerangan juga memba­yar pajak penerangan jalan tapi kenapa mereka tidak bisa menikmatinya? Ini berkaitan dengan keamanan. Pemeliha­raan keamanan warga perlu ditingkatkan agar masyarakat bisa lebih merasa aman dalam mencari nafkah," ujarnya.

Siskamling


Ia juga berharap Walikota ataupun calon Walikota Medan untuk ke depan­nya menyusun formula agar masyarakat bisa bekerjasama dalam mengamankan wilayah Kota Medan dari aksi-aksi kriminal seperti begal atau jambret. "Jadi tidak hanya bergantung pada aparat yang jumlahnya terbatas jika dibandingkan dengan jumlah warga Kota Medan. Program-program seperti siskamling dan jaga malam perlu dihadirkan kem­bali. Walikota yang baru harus mengu­sulkan hal-hal seperti itu," ujarnya.

Minimnya Penerangan


Hal senada juga disebutkan warga Jalan Setia Budi, Sagita Purnomo, me­nu­rutnya minimnya penerangan jalan di beberapa titik menjadi penyebab maraknya kasus pembegalan. "Banyak ruas jalan yang masih belum memiliki pencahayaan yang cukup dikarenakan lampu jalan yang rusak atau memang tidak ada sama sekali. Jalan yang gelap tentu menjadi lokasi favorit para pelaku begal untuk beraksi," ungkapnya.

Untuk itu menurutnya selain menam­bah penerangan jalan, Pemko Medan harus berkoordinasi dan meningkatkan sinergi dengan aparat kepolisian dan memberdayakan Satpol PP untuk be­kerja sama berjaga dan berpatroli di lokasi-lokasi rawan kejahatan.

"Koordinasi dengan kepala ling­kungan harus intens dilakukan agar aktif memo­nitoring wilayahnya. Hen­daknya Pemko ataupun walikota terpilih nanti dapat membuat program khusus men­jalin sinergi antarwarga, kepala ling­kungan, dan aparat dalam memeli­hara keamanan dan keter­tiban masyarakat," tambahnya.

Korban Begal

Sementara, Ririn Famur Wandes, warga Jalan Mesjid Taufik yang pernah menjadi korban pembegalan mengata­kan seharusnya pemko menyediakan pos keamanan yang di titik-titik rawan kejahatan. Polisi harus berjaga di pos tersebut khususnya pada malam hari sehingga masyarakat tidak takut untuk melewati jalan tersebut.

"Saya juga kemarin dibegal di Jalan Karantina yang penerangannya kurang baik, selain itu banyak jalan yang berlu­bang. Itu juga menjadi penghambat pe­ngendara untuk melaju cepat ketika ada yang pengendara lain yang mengi­kuti dari belakang," ujarnya. (amal)